CONTOH PROLIS (PROGRAM ANALISI) ULANGAN :
https://docs.google.com/spreadsheets/d/1c-hTJAnZUFLWVvDkDpTnVq2k1RyAk6m4vSp94qJX3e8/edit?usp=sharing
Rabu, 05 Desember 2018
Jumat, 23 Februari 2018
ADAKAH DELIK ADUAN YANG TETAP DIPROSES MESKI PENGADUANNYA SUDAH DICABUT?
Pada
dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada
jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu
delik aduan dan delik biasa.
Dalam
delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang
dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada
pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara
tersebut.
Berbeda
dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses
apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana
II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan
pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban
tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di
antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
R. Soesilo dalam
bukunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (hal. 88) membagi delik
aduan menjadi dua jenis yaitu:
a. Delik
aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana)
yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti
tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan
369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya,
sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar
peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang
yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus
dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika
seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal
284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya
orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi
terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
b.
Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa
pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan
oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan.
Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404,
dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut
peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam
peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapak yang
barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan
B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu,
misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam
pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya
yang bernama A dituntut”.
Untuk
delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang
yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di
Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar
Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan
pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan
setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Lebih lanjut Soesilo menjelaskan bahwa
terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk
kejahatan berzinah dalam Pasal 284, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama
peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya
sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu,
apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai
pemeriksaannya.
Pada intinya, terhadap pelaku delik
aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas persetujuan korbannya. Jika
pengaduannya kemudian dicabut, selama dalam jangka waktu tiga bulan setelah
pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan. Namun, setelah melewati
tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak dicabut setelah melewati
waktu tiga bulan, proses hukum akan dilanjutkan. Kecuali untuk kejahatan
berzinah (lihat Pasal 284 KUHP), pengaduan itu dapat dicabut
kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No 73).
BERAPA LAMA HUKUMAN PENJARA UNTUK PELAKU KDRT
Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU
KDRT”).
UU
KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan
baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal
5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal
6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang,
memukuli dan mengencingi adalah DILARANG.
Pasal
26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat
melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya,
keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan
KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2]
UU KDRT).
Meski
demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah
berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta
dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang
berbunyi sebagai berikut:
“Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tanggawajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah
berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan
perlindungan kepada korban;
c. memberikan
pertolongan darurat; dan
d. membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat KITA lakukan adalah
sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan
bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh
keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing
rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan
tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal
30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan
tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana
Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain
itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal
10 UU KDRT):
a. Perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan
bimbingan rohani.
Ancaman
pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15
juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT
yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5
juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Namun,
apabila ORANG LAIN melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal
perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk
kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal
51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila
ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak
pidana (atau kuasanya). Menurut Mr.
Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik
aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada
persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak
pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara
mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan
pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Demikian,
semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No 73);
PASAL-PASAL TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK
Pasal 310 KUH Pidana
(1) Barangsiapa sengaja
merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh
dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya
tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“
(2) Kalau hal ini dilakukan
dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau
ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Pasal 311 KUHPidana
“Barangsiapa melakukan kejahatan
menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan
tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu
dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah
dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
pasal 315 KUHP:
“Tiap-tiap penghinaan dengan
sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan
terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka
orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang
dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE
yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda
yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”
Misalnya, seseorang yang
menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan
sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar
rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51 ayat (2) UU ITESetiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Demikian, semoga bermanfaat.
SYARAT AGAR TUDUHAN DAPAT DIANGGAP SEBAGAI FITNAH
Pada
dasarnya, untuk dikatakan sebagai fitnah perbuatan tersebut harus memenuhi
unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barangsiapa melakukan kejahatan
menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan
tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu
dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah
dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Unsur-unsur
dari Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:
1. Seseorang;
2. Menista
orang lain baik secara lisan maupun tulisan;
3. Orang
yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut
diketahuinya tidak benar;
Akan
tetapi, unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP ini harus merujuk pada ketentuan
menista padaPasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa sengaja merusak
kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu
perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena
menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“
Mengenai
Pasal 311 ayat (1) KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang
berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa kejahatan
pada pasal ini dinamakan memfitnah. Atas pasal ini, R. Soesilo
merujuk kepada catatannya pada Pasal 310 KUHP no. 3 yang menjelaskan tentang
apa itu menista.
Dalam
penjelasan Pasal 310 no. 3, sebagaimana kami sarikan, R. Soesilo mengatakan
antara lain bahwa untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus
dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang
tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).
Sebagai
tambahan, mengenai “perbuatan yang dituduhkan” dalam Pasal 310 KUHP ini, S.R.
Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP,
Sianturi berpendapat (hal. 560) bahwa yang dituduhkan itu dapat berupa
berita yang benar-benar terjadi dan dapat juga “isapan jempol” belaka.
Jadi,
menurut kami, sepanjang tuduhan dari ORANG LAIN tidak tersiar atau diketahui orang
banyak, maka perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai fitnah
Agar
perbuatan ORANG LAIN itu masuk ke dalam perbuatan yang dirumuskan pada Pasal
311 ayat (1) KUHP, perbuatan ORANG LAIN tersebut harus diketahui oleh orang
banyak, dan perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak benar.
Jika
yang dituduhkan tersebut benar akan tetapi tersiarnya tuduhan tersebut bukan
demi kepentingan umum atau membela diri sendiri (Pasal 310 ayat [3] KUHP), maka
dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang penistaan atau
penghinaan. Jika tuduhan perbuatan tersebut terbukti tidak benar, maka dapat
dipidana dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai fitnah.
Jadi,
jika KITA merasa tidak bersalah, KITA dapat membiarkan ORANG LAIN melaksanakan tuduhannya,
yaitu menceritakan perbuatan yang dituduhkannya kepada ORANG LAIN. Dengan
begitu, maka tuduhan tersebut menjadi tersiar (diketahui orang banyak).
Sehingga perbuatan ORANG LAIN tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat (1)
KUHP atau Pasal 311 ayat (1) KUHP (bergantung pada apakah terbukti tuduhan
tersebut disiarkan untuk kepentingan umum atau membela diri, serta apakah
tuduhan tersebut benar atau tidak).
Demikian,
semoga bermanfaat.
Dasar
Hukum:
Referensi:
1. R.
Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
2. S.R. Sianturi. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut
Uraiannya. Alumni AHM-PTHM.
Jumat, 26 Januari 2018
HUKUM DAN PERINTAH SHOLAT GERHANA
Hukum
shalat gerhana matahari dan bulan adalah sunnat muakkad, yaitu sunnah yang
dikuatkan bagi setiap kaum muslimin. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
“Aisyah
Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk
menyeru ‘Asholatu Jamiah’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang
lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali
ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim ).
Dari
Abu Musa RA, ia berkata, ”Pernah terjadi
gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi
lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau
pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’
dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat
sedemikian rupa.”. (HR. Muslim).
Kapan
Diperintahkan Untuk Shalat Gerhana?
Shalat
gerhana diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau gerhana bulan dengan
pandangan mata secara langsung (rukyah). Sehingga ketika keadaan
cuaca mendung dan gerhananya tidak dapat dilihat dengan kasat mata, maka tidak
diperintahkan untuk shalat. Karena perintah tersebut sangat terikat
dengan waktu terlihatnya gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada
lagi perintah untuk shalat gerhana. Hal ini
sesuai dengan hadis Rasulullah SAW :
“Maka apabila
kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan berdoalah kepada Allah sampai hal
yang menakutkan itu hilang.” (HR.
Muslim)
Waktu Sholat Gerhana
Waktu shalat gerhana adalah kapan saja
ketika melihat gerhana matahari dan bulan, dan boleh dilakukan pada saat
waktu-waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat. Karena dia merupakan shalat
yang memiliki sebab.
Tata Cara Mengerjakan sholat
Gerhana Matahari Dan Bulan
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at . setiap rakaat dilakukan dengan 2 kali ruku’ dan 2 kali sujud. Adapun cara mengerjakannya adalah sbb:
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at . setiap rakaat dilakukan dengan 2 kali ruku’ dan 2 kali sujud. Adapun cara mengerjakannya adalah sbb:
1.
Sebelum sholat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan, ”Ash-shalatu
jaami’ah.
2.
Takbiratul ihram sambil Niat melakukan sholat gerhana {kalau gerhana
matahari diniat untuk sholat gerhana matahari (“kusufi”) . kalau gerhana bulan
diniat untuk sholat gerhana bulan (“khusufi”)}.
Niat sholat gerhana matahari :
اُصَلِّى سُنَّةَ الْكُسُوْفِ
رَكْعَتَيْنِ ..... لله تعالى
“Aku sholat gerhana matahari 2 rakaat karena Allah Ta’ala”
Niat sholat gerhana bulan :
اُصَلِّى سُنَّةَ الخُسُوْفِ
رَكْعَتَيْنِ ..... لله تعالى
“Aku sholat gerhana bulan 2
rakaat karena Allah Ta’ala”
3.
Membaca do’a iftitah kemudian membaca al-fatihah, lalu membaca surat
Al-Qur’an dianjurkan yang panjang suratnya.
4. kemudian ruku’ lalu I’tidal
setelah I’tidal dilanjutkan dengan membaca surat Alfatihah kembali kemudian
ruku’ lagi (ruku’ yang ke 2), lalu bangkit dari ruku’ (i’tidal).
5. kemudian sujud yang lama
seperti I’tidal lalu duduk antara 2 sujud kemudian sujud lagi.
6.
kemudian
bangkit dari sujud lalu mengerjakan rakaat ke 2 sebagaimana pada rakaat pertama
hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
7.
kemudian duduk tasyahud akhir lalu memeberi salam.
8.
Setelah sholat, Imam disunatkan untuk menyampaikan khutbah yang berisi
anjuran untuk beristigfar, berzikir, berdoa, dan bersedekah.
Langganan:
Postingan (Atom)