Senin, 23 Januari 2017

BERMAKMUM DI BELAKANG KYAI




KH. Ahmad Basyir AS., alm. KH. Ishomuddin AS.
dan alm. Drs. KH. A. Warits Ilyas.
Masjid Jamik Annuqayah pasca direhab total.
Masjid Jamik Annuqayah pra direhab.
Rindu kami padamu, Annuqayah
Adalah rindu padang sabana
Ketika musim labuh tak kunjung tiba
Dan pucuk-pucuk mayang tak mengalirkan nira

Rindu kami padamu, Annuqayah
Adalah rindu awak bahtera
Yang meniti resah sepanjang kembara
Sebelum angin tenggara menghantarnya ke ujung dermaga.

Rindu kami padamu, Annuqayah
Adalah rindu bintang gemintang di pucuk cakrawala
Ketika langit mengaburkan warna
Dan matahari enggan menerakan cahaya.

Wahai,
Bagaimana kami sanggup menelan getir rindu
Sementara jejak kami terpahat abadi
Di sepanjang lintasan antara Latee – Lubangsa
Antara Sawajarin dan Nirmala
Bagaimana bisa kami melupakan sejarah
Di mana kami merenda hari-hari melaburkan usia
Memaknai hidup dalam setiap jengkal nafas
Dan kegamangan jatidiri.

Masih terasa di cupu hati
Segar aroma bunga tembakau
Harumnya tanah yang dibasahi hujan pertama di penghujung kemarau
Dan sedapnya nasi jagung dengan lauk ikan asin dan ulam daun kelor.

Ingin rasanya mengulang lagi masa-masa indah di sana
Mencuci dan mandi di Sumber Daleman
Begadang sepanjang malam di bawah bulan
Bercerita dan bergelak tawa tak kenal bosan
Melinting rokok beraroma menyengat sambil ngopi bergantian
Dan setiap pagi diam-diam mengintip para santriwati yang melintas di kejauhan
Bagaimana mungkin segala kenangan bisa terlupa
Sementara air sumur yang kami minum langsung dari timba
Mengalirkan rindu di seluruh darah
Menjadi sumsum yang bermekaran di tulang belulang
Menjadi daging yang menyemerbak di seantero badan
Menjadi nafas yang mewangi di sepanjang kehidupan
Menjadi ruh yang menebar aroma dupa di relung-relung penghambaan.

Bagaimana mungkin perjalanan waktu dapat menghapus sejarah
Padahal huruf-huruf Al-Qur’an telah terpatri dalam di di hati kita
Mengguratkan asma Allah di palung-palung jiwa
Setiap dini hari kita dibangunkan rinai merdu kalam ilahi
Yang setia mendesau di antara mimpi dan bulir embun pagi
Saban hari kita duduk bersama menyimak lafad-lafad kitab
Yang dibaca para kyai
Menjelang senja kita pun bersiap diri di musholla
Menunggu jamaah shalat dimulai dengan dzikir dan bait-bait shalawat.

Wahai,
Kita adalah ma’mum para masyayikh
Di belakang beliaulah kita tegak dalam shaf shaf ibadah.
Ketika beliau bertakbir, kita pun menyambut dengan gempita Allahu Akbar
Membuhulkan Asma Allah di setiap degap jantung dan deru napas
Ketika beliau berdiri, kita pun tegak dalam kesigapan hati
Bersiap melaksanakan da’wah yang diajarkan Rasulullah
Hingga di batas kekuatan raga
Ketika beliau ruku’ kita pun menunduk merendahkan hati
Betapa segala kekuatan dan kepercayaan diri
Betapa selaksa kekuasaan dan prestasi
Hanyalah titipan di bawah keagungan Robbul Izzati
Ketika beliau i’tidal, kita kembali berdiri
Sembari mengenali jati diri, merumat potensi, mengasah kemampuan naluri
Lalu memanfaatkan segala daya untuk penghambaan semata.
Ketika beliau sujud
Kita pun rebah dalam kefanaan diri
Kepala yang kita banggakan di tempat paling tinggi
Tersungkur hina menyuruk dalam ke bumi

Waktu menjadi hening
Ruang menjadi kosong
Segenap daya menjadi tumbang
Bahkan diri pun menjadi hilang
Tiada ada
Tiada daya
Tiada upaya
Hanya Allah
Hanya Allah
Hanya Allah

Ketika beliau salam
Kitapun bersalam
Menabur senyum
Menebar kedamaian
Betapa agama ini adalah rahmat
Sehingga tak perlu disampaikan lewat hardik kasar dan pentungan
Sehingga tak perlu dipaksa lewat caci maki dan bakar-bakaran.

Wahai,
Kita adalah ma’mum para masyayikh Annuqayah
Sejak jadi santri kita telah dipedomani, telah diteladani
Tetapi mengapa kita hendak mufaroqoh dari jamaah ini?
Padahal ulama-ulama baru yang tampil di TV
Tak lebih dari selebriti yang memperjual-belikan agama dengan materi
Padahal ulama-ulama baru yang mengobral hadits dan ayat suci
Tak lebih dari para penghafal Qur’an yang sekedar pandai berorasi
Padahal ulama-ulama baru yang mengaku pejuang sunnah
Tak lebih dari sekedar para pelakon yang memanfaatkan Islam sebagai asesoris
Belum tentu yang hitam jidatnya lebih khusu’ sholatnya
Belum tentu yang lebat jenggotnya lebih tawadhu’ hatinya
Belum tentu yang cingkrang celananya lebih diterima amalnya
Belum tentu yang getol memperjuangkan khilafah lebih murni niatnya
Belum tentu yang menuduh bid’ah dan kafir pada kita lebih diridhai Allah ibadahnya.

Wahai,
Kita adalah ma’mum para masyayikh
Di belakang beliaulah, kita setia mengikut
Rakaat-rakaat shalat dari takbir hingga salam terakhir
Tapi kini, setelah pendidikan kita tamat
Terkadang merasa lebih alim dari kyai
Hanya lantaran menguasai berbagai ilmu
Mengapa kita dengan lantang berani menepuk dada
Padahal sejatinya kita hanya gumpalan darah, daging dan tulang belulang tanpa makna
Gerangan ilmu setinggi apakah yang hendak kita sombongkan?
Gerangan amal sebanyak apakah yang hendak kita andalkan?
Padahal kita belum punya iman seteguh Abu Bakar
Yang setia mengikut lampa Rasulullah hingga di akhir usia
Kita belum punya himmah perjuangan setegar Umar bin Khatthab
Yang setia menjadi perisai Nabi hingga di akhir hayat
Kita belum punya kedermawanan semisal Utsman bin Affan
Yang hartanya tak habis dibagikan hingga kini
Kita belum memiliki tingkat keilmuan setinggi Ali bin Abi Thalib
Yang saking pandainya dijuluki kunci dari khazanah ilmu Rasulullah
Kita belum punya keperwiraan sekukuh para pejuang Badar dan Uhud
Yang rela menumpahkan darahnya demi tegaknya Islam li’ilaai kalimatillah
Kita belum punya semangat dakwah sekuat Kyai Syarqawi Al-Quddusi
Yang rela berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya untuk menyebar agama
Kita belum setekun kyai Ilyas Syarqawi yang dengan telaten mengajari para santri
Kita belum segigih Kyai Abdullah Sajjad yang rela darahnya membasahi pertiwi
Demi tegaknya NKRI
Bahkan kita belum seteguh pendirian Kyai Warits Ilyas
Yang lurus antara yang diucapkan dan apa yang dilakukan
Bahkan sungguh,
Kita belum seistiqomah Kyai Ahmad Basyir AS
Yang setia menjadi imam sholat dari dulu hingga usia udzur
Yang ketidakhadirannya di musholla menjadi tanda
Betapa sakit beliau sudah sedemikian parahnya.

Wahai,
Kita adalah ma’mum para kyai Annuqayah
Beruntunglah kita yang sempat menjadi santri
Karena setiap di sepertiga malam kita cukup mengucap amin
Para kyailah yang menjamin bahwa kita didoakan
Setiap malam
Dalam setiap munajat
Tanpa kita sadari, kita telah banyak berhutang budi
Kyai tak pernah rela membiarkan orang lain menjadi imam shalat jamaah
Bukan karena tak punya wakil
Atau tak percaya pada yang lain
Melainkan karena i’tiqad mulia beliau
Ingin mendoakan langsung para santrinya di waktu istijabah
Karena beliau ingin memperhadapkan santrinya langsung pada Allah
Dalam ruku’ dan sujud yang diimaminya sendiri.
Seolah-olah beliau hendak berkata:
“Ya Allah, inilah santri-santri hamba
Inilah ma’mum-ma’mum hamba, ridhailah kiranya”

Wahai,
Bagaimana kita akan dapat melunasi hutang-hutang sengsara ini
Kepada para kyai,
Sementara setiap munajat, setiap doa-doa
Terus mengalir tanpa henti, tanpa kita sadari.

Lalu bagaimana mungkin
Kita keluar dari ikatan jamaah ini
Sementara diam-diam kita khawatir bahwa timbunan dosa akan merejamkan kita di neraka
Dalam harap yang tersisa
Kiranya tangan-tangan kyai akan menggapai jemari kita
Seperti tangan-tangan para rasul yang perkasa mengangkis umatnya.
====


Puisi Abdul Latif Anwar, dibacakan pada acara IAA Oktober 2016 di Uala As-Syarkowi.
Youtube liat di :

https://www.youtube.com/watch?v=kQsGPjkE6eo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar