Jumat, 17 Februari 2017

Kitab Alfiyyah Bab Idhafah dan “Filosofi Pernikahan”

Dalam Alfiyyah-nya, Ibnu Malik berkata:
نُونَاً تَلِي الإِعْرَابَ أَوْ تَنْوِينَا * مِمَّا تُضِيْفُ احْذِف كَطُوْرِ سِيْنَا
وَالْثَّانِيَ اجْرُرْ وَانْو مِنْ أَوْ فِي إِذَا * لَمْ يَصْلُحِ إلاَّ ذَاكَ والْلاَّمَ خُذَا
لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ وَاخْصُصْ أَوَّ لاَ * أَوْ أَعْطِهِ الْتَّعْرِيْفَ بِالَّذِي تَلاَ
Berikut rincian makna dari bait tersebut:

1. Untuk Suami, Singkirkan Ego Diri
Dalam bait pertama dikatakan:
نُونَاً تَلِي الإِعْرَابَ أَوْ تَنْوِينَا  * مِمَّا تُضِيْفُ احْذِف كَطُوْرِ سِيْنَا
“Buanglah nun yang mengiringi tanda i’rab (tasniyah dan jamak) ataupun tanwin (dalam isim mufrad) dari suatu isim yang akan Anda idhafahkan, seperti kata Thuuri Siina.”
Isim mufrad (tunggal) dalam tanda i’rabnya memang selalu disertai tanwin ketika tak bersama huruf alif lam. Lalu isim tasniyah (menunjukkan makna ganda) dan jamak mudzakar salim (bentuk plural untuk kata yang tergolong mudzakar) biasa memuat huruf nun. Contoh kata مسلم (muslimun), مسلمان  (muslimani), dan مسلمون  (muslimuna) ketika akan diidhafahkan maka tanwin dan nunnya harus dihilangkan.
Pernikahan merupakan penyatuan dua manusia lain jenis yang menuntut kesetiaan, tanggung jawab, pengertian, cinta dan kasih sayang. Bagi seorang lelaki, yang menjadi menjadi pemimpin rumah tanggah, ibarat sebuah mudhaf dalam nahwu, ia harus menanggalkan ego dan sifat kurang baiknya saat belum menikah.
Simbol-simbol masa lajang seperti gampang cari perhatian terhadap lawan jenis, tebar pesona, suka keluyuran, adalah contoh gampang “tanwin” yang harus digugurkan begitu menikah.

 

2. Istri, Rendahkanlah Dirimu

Mudhaf ilaih, atau kata kedua dalam susunan idhafah harus selalu ber-i’rab jar. Seperti kata penggalan bait kedua:
وَالْثَّانِيَ اجْرُرْ وَانْو مِنْ أَوْ فِي إِذَا *  لَمْ يَصْلُحِ إلاَّ ذَاكَ
“Kata yang kedua jarkanlah, dan kira-kirakan maknanya fi atau min bila memang harus menggunakan makna itu.”
Kata kedua yang berposisi menjadi mudhaf ilaihi harus beri’rab jar. Istilah lain dari jar adalah khafadh yang juga berarti rendah atau bawah. I’rab jar biasa ditandai dengan adanya tanda baca bawah atau kasrah.
Begitu pula adanya seorang yang berperan menjad istri. Rendahkan diri kepada suami. Menjadi makmum yang baik. Allah berfirman:
“… Maka wanita-wanita saleh ialah yang taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka)…,” (Qs. an-Nisa`[4]:34).
Pada poin ini, hanya soal i’rab jar atau khafdh bagi mudhaf ilaih saja yang diambil.

 

3. Suami, Berilah Nafkah!

والْلاَّمَ خُذَا … *
* … لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ
“Ambillah makna lam untuk selain keadaan yang mengharuskan makna min atau fi.”
Makna paling umum dari idhafah adalah arti kepemilikan yang diberikan oleh lam. Kata مال زيد (Malu zaidin), berarti harta milik Zaid.
Begitu pula dalam kehidupan rumah tangga. Seorang lelaki yang berperan ibarat mudhaf yang menjadi sandaran bagi istri, si mudhaf ilaih.
Suami bekerja mencari rezeki dan pada akhirnya diberikan kepada istri. Bahkan ada plesetan yang mengatakan bahwa SUAMI adalah singkatan dari Semua Uang Milik Istri.
Dari memberikan nafkah harta inilah, seorang lelaki layak menyandang predikat sebagai pemimpin rumah tangga. Al-Qawwam. Firman Allah di bagian awal ayat diatas menyebutkan:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ….”

 

4. Pilih yang Memberi Makna Takhsish ataukah Ta’rif?

وَاخْصُصْ أَوَّ لاَ *  أَوْ أَعْطِهِ الْتَّعْرِيْفَ بِالَّذِي تَلاَ
“… khususkanlah kata pertama (mudhaf) atau berilah kemakrifatan dengan kata yang kedua (mudhaf Ilaih).”
Kata yang diidhafahkan, apabila muhdaf ilaihnya tergolong kata nakirah (umum) maka idhafahnya berfaidah takhsis (untuk mengkhususkan) saja. Sedangkan bila yang menjadi mudhaf ilaihnya adalah makrifat, maka idhafahnya berfaidah ta’rif (memperjelas, memakrifatkan).
Kata كتاب رجل (kitabu rajulin) hanya bermakna buku milik seorang lelaki. Tak jelas siapa dan lelaki yang mana. Karena rajul merupakan kata nakirah.
Jadi, kata kitab tidak mendapatkan kejelasan siapa pemiliknya, namun hanya mempunyai status milik seseorang. Sedangkan كتاب زيد (kitabu zaidin) maknanya adalah buku milik Zaid.
Kata Zaid sebagai nama orang tergolong isim makrifat, sehingga kata kitab yang semula belum jelas statusnya menjadi diketahui bahwa kitab (buku) tersebut adalah milik si Zaid.
Dalam membina rumah tangga, para lelaki meski sebagai pemimpin, pada akhirnya juga para wanita/istri mempunyai pengaruh besar dalam kesuksesan dan arah hidup seorang lelaki. Sehingga memilih seorang istri haruslah berdasarkan keunggulan agamisnya. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka raihlah keberuntungan dengan wanita yang taat beragama. Melaratlah engkau jika tidak melakukan itu,” (HR. Bukhari Muslim).
Catatan, pemaknaan taribat yadak dalam teks Arab hadis tersebut dengan “melaratlah engkau jika tidak melakukan itu”, adalah sesuai dengan penjelasan Badrudin al-Aini dalam Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari.
Para bujangan, jomblowan maupun jombloanita ibarat isim nakirah yang belum jelas hendak saling sandar dengan siapa dalam mengarungi dunia.
Carilah sandaran (mudhaf) yang tergolong isim makrifat seperti petunjuk Rasulullah jika status pernikahan ingin jelas menuju peningkatan ibadah dan meraih kebahagiaan dalam naungan ridha-Nya.
Namun jika yang dipilih adalah golongan nakirah yang tak jelas kualitasnya, kalau diri tak mampu memposisikan sebagai yang memperjelas alias memakrifatkan, maka pernikahan akan jauh dari kebahagiaan.
Memilih pendamping hanya murni berdasar kekayaan, keturunan, maupun ketampanan/kecantikan semata adalah ibarat idhafah kepada isim nakirah.
Itulah setetes pesan moral pernikahan yang terbetik saat mempelajari bab idhafah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar