Dalam Alfiyyah-nya, Ibnu Malik
berkata:
نُونَاً تَلِي الإِعْرَابَ أَوْ تَنْوِينَا *
مِمَّا تُضِيْفُ احْذِف كَطُوْرِ سِيْنَا
وَالْثَّانِيَ اجْرُرْ وَانْو مِنْ أَوْ فِي
إِذَا * لَمْ يَصْلُحِ إلاَّ ذَاكَ والْلاَّمَ خُذَا
لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ وَاخْصُصْ أَوَّ لاَ *
أَوْ أَعْطِهِ الْتَّعْرِيْفَ بِالَّذِي تَلاَ
Berikut rincian makna dari bait tersebut:
1. Untuk Suami, Singkirkan Ego Diri
Dalam bait pertama dikatakan:
نُونَاً تَلِي الإِعْرَابَ أَوْ تَنْوِينَا *
مِمَّا تُضِيْفُ احْذِف كَطُوْرِ سِيْنَا
“Buanglah nun yang mengiringi tanda i’rab (tasniyah dan jamak)
ataupun tanwin (dalam isim mufrad) dari suatu isim yang akan Anda idhafahkan,
seperti kata Thuuri Siina.”
Isim mufrad (tunggal) dalam tanda i’rabnya memang selalu
disertai tanwin ketika tak bersama huruf alif lam. Lalu isim tasniyah
(menunjukkan makna ganda) dan jamak mudzakar salim (bentuk plural untuk kata
yang tergolong mudzakar) biasa memuat huruf nun. Contoh kata مسلم (muslimun), مسلمان
(muslimani), dan مسلمون (muslimuna) ketika akan diidhafahkan
maka tanwin dan nunnya harus dihilangkan.
Pernikahan merupakan penyatuan dua manusia lain jenis yang
menuntut kesetiaan, tanggung jawab, pengertian, cinta dan kasih sayang. Bagi
seorang lelaki, yang menjadi menjadi pemimpin rumah tanggah, ibarat sebuah
mudhaf dalam nahwu, ia harus menanggalkan ego dan sifat kurang baiknya saat
belum menikah.
Simbol-simbol masa lajang seperti gampang cari perhatian
terhadap lawan jenis, tebar pesona, suka keluyuran, adalah contoh gampang
“tanwin” yang harus digugurkan begitu menikah.
2. Istri,
Rendahkanlah Dirimu
Mudhaf ilaih, atau kata kedua dalam susunan idhafah harus selalu
ber-i’rab jar. Seperti kata penggalan bait kedua:
… وَالْثَّانِيَ اجْرُرْ
وَانْو مِنْ أَوْ فِي إِذَا * لَمْ يَصْلُحِ إلاَّ ذَاكَ
“Kata yang kedua jarkanlah, dan kira-kirakan maknanya fi atau
min bila memang harus menggunakan makna itu.”
Kata kedua yang berposisi menjadi mudhaf ilaihi harus beri’rab
jar. Istilah lain dari jar adalah khafadh yang juga berarti rendah atau bawah.
I’rab jar biasa ditandai dengan adanya tanda baca bawah atau kasrah.
Begitu pula adanya seorang yang berperan menjad istri. Rendahkan diri kepada
suami. Menjadi makmum yang baik. Allah berfirman:
“… Maka wanita-wanita saleh ialah
yang taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah
telah memelihara (mereka)…,” (Qs. an-Nisa`[4]:34).
Pada poin ini, hanya soal i’rab jar atau khafdh bagi mudhaf
ilaih saja yang diambil.
3. Suami, Berilah
Nafkah!
والْلاَّمَ خُذَا … *
* … لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ
“Ambillah makna lam untuk selain keadaan yang mengharuskan makna
min atau fi.”
Makna paling umum dari idhafah adalah arti kepemilikan yang
diberikan oleh lam. Kata مال زيد (Malu zaidin), berarti harta milik Zaid.
Begitu pula dalam kehidupan rumah tangga. Seorang lelaki yang
berperan ibarat mudhaf yang menjadi sandaran bagi istri, si mudhaf ilaih.
Suami bekerja mencari rezeki dan pada akhirnya diberikan kepada
istri. Bahkan ada plesetan yang mengatakan bahwa SUAMI adalah singkatan dari
Semua Uang Milik Istri.
Dari memberikan nafkah harta inilah, seorang lelaki layak menyandang predikat
sebagai pemimpin rumah tangga. Al-Qawwam. Firman Allah di bagian awal ayat
diatas menyebutkan:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka ….”
4. Pilih yang
Memberi Makna Takhsish ataukah Ta’rif?
وَاخْصُصْ أَوَّ لاَ * أَوْ أَعْطِهِ الْتَّعْرِيْفَ
بِالَّذِي تَلاَ …
“… khususkanlah kata pertama (mudhaf) atau berilah kemakrifatan
dengan kata yang kedua (mudhaf Ilaih).”
Kata yang diidhafahkan, apabila muhdaf ilaihnya tergolong kata
nakirah (umum) maka idhafahnya berfaidah takhsis (untuk mengkhususkan) saja.
Sedangkan bila yang menjadi mudhaf ilaihnya adalah makrifat, maka idhafahnya
berfaidah ta’rif (memperjelas, memakrifatkan).
Kata كتاب رجل (kitabu rajulin) hanya bermakna buku milik seorang lelaki. Tak
jelas siapa dan lelaki yang mana. Karena rajul merupakan kata nakirah.
Jadi, kata kitab tidak mendapatkan kejelasan siapa pemiliknya, namun hanya
mempunyai status milik seseorang. Sedangkan كتاب
زيد (kitabu zaidin) maknanya adalah buku milik Zaid.
Kata Zaid sebagai nama orang tergolong isim makrifat, sehingga
kata kitab yang semula belum jelas statusnya menjadi diketahui bahwa kitab
(buku) tersebut adalah milik si Zaid.
Dalam membina rumah tangga, para lelaki meski sebagai pemimpin,
pada akhirnya juga para wanita/istri mempunyai pengaruh besar dalam kesuksesan
dan arah hidup seorang lelaki. Sehingga memilih seorang istri haruslah
berdasarkan keunggulan agamisnya. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Wanita dinikahi karena empat
perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka
raihlah keberuntungan dengan wanita yang taat beragama. Melaratlah engkau jika
tidak melakukan itu,” (HR. Bukhari Muslim).
Catatan, pemaknaan taribat yadak dalam teks Arab hadis tersebut
dengan “melaratlah engkau jika tidak melakukan itu”, adalah sesuai dengan
penjelasan Badrudin al-Aini dalam Umdah
al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari.
Para bujangan, jomblowan maupun jombloanita ibarat isim nakirah
yang belum jelas hendak saling sandar dengan siapa dalam mengarungi dunia.
Carilah sandaran (mudhaf) yang tergolong isim makrifat seperti
petunjuk Rasulullah jika status pernikahan ingin jelas menuju peningkatan
ibadah dan meraih kebahagiaan dalam naungan ridha-Nya.
Namun jika yang dipilih adalah golongan nakirah yang tak jelas
kualitasnya, kalau diri tak mampu memposisikan sebagai yang memperjelas alias
memakrifatkan, maka pernikahan akan jauh dari kebahagiaan.
Memilih pendamping hanya murni berdasar kekayaan, keturunan,
maupun ketampanan/kecantikan semata adalah ibarat idhafah kepada isim nakirah.
Itulah setetes pesan
moral pernikahan yang terbetik saat mempelajari bab idhafah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar