Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU
KDRT”).
UU
KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan
baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal
5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal
6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang,
memukuli dan mengencingi adalah DILARANG.
Pasal
26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat
melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya,
keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan
KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2]
UU KDRT).
Meski
demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah
berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta
dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang
berbunyi sebagai berikut:
“Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tanggawajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah
berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan
perlindungan kepada korban;
c. memberikan
pertolongan darurat; dan
d. membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat KITA lakukan adalah
sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan
bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh
keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing
rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan
tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal
30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan
tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana
Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain
itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal
10 UU KDRT):
a. Perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan
bimbingan rohani.
Ancaman
pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15
juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT
yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5
juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Namun,
apabila ORANG LAIN melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal
perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk
kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal
51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila
ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak
pidana (atau kuasanya). Menurut Mr.
Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik
aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada
persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak
pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara
mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan
pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Demikian,
semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No 73);
Tidak ada komentar:
Posting Komentar