“PerKAWINan menyimpan DERITA, namun hidup meLAJANG tidak memiliki keSENANGan”.
“KEBAHAGIAN bukanlah suatu tahap yang kita RAIH tetapi lebih merupakan sebuah PERJALANAN”.
(Samuel
Johnson, Penulis Inggris : 1709 - 1784)
Tepatnya hari
jum’at sore setelah shalat maghrib tanggal 06 Februari 2009 di kampung Sasar Desa Kapedi Kec. Bluto terjadilah suatu
hal yang tak diduga oleh kita berdua, tapi itulah kehendak Tuhan yang maha
berKehendak.
Sore itu aku
ingin tahu seperti siapa ayah-ibuku yang kedua, karena ayah-ibuku yang pertama
sudah tiada. Aku sudah senang dan bahagia kali pertama walaupun belum tahu
seperti siapa mereka berdua dan aku juga senang – bahagia karena sudah punya
adik yang kedua (Faizatul Hasanah) setelah adik kandungku sendiri.
Saat itu kau sms kepadaku yang lagi asyik dengan obrolan
di ruang tamu, mau minta diantarkan ke beberapa toko buku di Sumenep kota untuk
membeli buku buat referensi tugas akhirmu di kampus INSTIKA = STIKA, dulu)
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah yaitu skripsi. Karena kau belum halal untuk berboncengan,
maka kusarankan untuk kau minta izin ke ibumu karena pada saat itu kau lagi
ngumpul dengannya, entah kalimat apa yang kau sampaikan ke ibumu kok tiba-tiba
aku dipanggil untuk masuk mendatangi kau dan ibumu. Saat aku mendatangi kau dan
ibumu, ditanyakanlah tentang sms-mu tadi, dengan jujur aku menjawabnya “ia
anakmu ngajakku untuk diantar membeli buku”. Ibunmu bilang, “Kalau kau mau ke
Sumenep kota tentunya kan pasti berboncengan”, jawabku “ia”. “Lantasssssss,
bagaimana denganku”. Tanya ibumu. Akupun bingung (apa beliau mau ikut atau
bagaimana), dengan kebingunganku yang sangat, bertanyalah diriku “Maksudnya
apa, saya kurang faham”. Ibumu menjelaskan, kalau setiap saat beliau sering
ngasi tausiyah-tausiyah ke masyarakat untuk amar ma’ruf – nahi mungkar, akupun
malah tambah bingung dan gagal faham maksudnya, dengan tanpa sungkan aku bertanya toh walaupun ini merupakan pertemuanku
dengan ibu keduaku “Maksudnya apa ya kok saya tambah bingung”.
Ternyaaataaa jawaban beliau sungguh membuatku kaget serta
tidak diduga sebelumya, beliau menjawab “MALAM INI JUGA KAU BERDUA AKAN DINIKAHKAN,
SUPAYA ANAKKU BERBONCENGAN BESOK DENGAN LELAKI HALALNYA”. Aku tidak langsung menjawab dan masih bergumam dalam
dada “kok bisa ibu keduaku ini langsung mau menikahkan, kan baru pertama kali
kaki kuinjakkan di rumah ini”, lantas dengan segera aku menjawabnya “ia
silahkan nikahkan malam ini juga”.
Moh. Tamzi Ghazali & Faizatul Hasanah Syaf |
Lantasss, dalam hatiku “ini bener-bener من حيث لا يحتسب dan memang ini
yang sangat ditunggu tibanya”. Kemudian pindahlah aku ke tempat bertamu sambil menunggu momentum untaian lafad sakral yang belum kupelajari dulu yaitu kata “قبلت نكاحها بذالك”.
Singkat cerita, tiba-tiba datang seorang lelaki agak
kecil terus aku dan ponakanku K. Imam Syafi’ie, M.Pd bersalaman dilanjutkan
dengan obrolan saling mengenalkan diri, eeeeh sekalinya beliau adalah saudara
dari ibu keduaku yang bernama Hannan. Di tengah serunya obrolan diantara kami (K.
Musthofa, K. Taufiq, K. Hannan, K.Ali Mufi, cong Imam serta Moh.Tamzi dan yang
lainnya) datanglah seorang perempuan (Ny. Nairatul Ahkamiyah) dan berdiri di
dekat pintu lantas mengatkan “Ayo silahkan kalau sudah siap”, lantas dalam
hatiku bertanya-tanya “Siapa yang akan menikahkanku ini, masak cuma ini saja
orangnya ?”. sekalinya yang mau menikahkan yaitu orang yang duduk dijarak
tiga orang ke kiriku yaitu K. Hannan. Lantas beliaupun bertanya “apa kau sudah
siap ?”. aku menjawabnya “insyaallah sangat siap”.
Kemudian, proses pernikahanku berjalan dengan lancar,
walaupun kata “قبلت نكاحها بذالك” belum sempat aku pelajari
dulu tapi alhamdulillah kalimat itu tanpa harus aku ulangi alias sekali saja langsung "sah". Maka semenjak saat
itulah aku tersadari, sebutan namaku di belakang bertambah titelnya (titel bukan
dari duduk di bangku kuliah) tapi dari duduk di kursi tempat bertamu (korseh
patamoyan) yaitu awalnya hanya :
“Moh. Tamzi”, menjadilah
>>>
“Moh. Tamzi suami dari Faizatul Hasanah”.
Karena nama belakangku bertambah “Faizatul Hasanah”
maka kucarilah orang itu untuk kuberikan mas-kawainnya, kucari, kutanyakan ke
ibu keduaku “adik ada dimana ya ?”, beliaupun menjawab sambil menunjukkan
tangan “itu ada di kamarnya”.
Lantasss, aku datangi orang itu, ternyata dia sudah
menunggu duduk di atas ranjangnya yang sederhana, kuberikan mas kawin tersebut,
setelah diterima mas kawinya aku kembali ke tempat bertamu.
Waktu sudah berlalu dengan obrolan yang penuh keakraban
layaknya saya sudah saling mengenal diantara mereka, padahal baru malam ini
pertama kalinya. Akhirnya aku berdua pamit untuk pulang kembali ke rumah di kampung Dharmah di desa Bilapora Timur kec. Ganding, saat
aku pamit ke Aba & Ummi mertua beliau berdua nanyain “Lhooooooh,,,kau mau
ikut pulang juga, apa kau tidak mau tidur di sini ?. jawabku “ia saya mau pulang
malam ini, karena tujuan saya kesini hanya mau tahu tentang di sini”. Kemudian kudatangi
isriku di kamarnya untuk pamit kalau suaminya ini mau pulang, saat aku pamit “adik,
aku mau pulang ke rumah”, dia pun menjawabnya dengan pertanyaan bukan dengan pernyataan
“lhoooooh,,, mas tidak tidur di sini, kita kan sudah sama-sama halal mas ?”
pinta istriku.
Aku pun menjawabnya lagi “adik, mas ke sini sebenarnya bukan
untuk menikah dan pula bukan untuk tidur berdua malam ini, insyaallah besok
malam kita tidur berdua, adik besok jam berapa akan mas jemput untuk pergi
ke Sumenep kota untuk membeli buku referensi skripsimu?”. Istripun menjawab “pukul
07.00 wib saja mas”. “ia, adik tunggu saja besok pukul 07.00 wib mas akan datang tepat waktu".
Dalam benak hatiku “saya harus komitmen dengan tujuan
awal datang ke sini hanya untuk silaturrahmi saja bukan untuk akad nikah apa
lagi sampai bermalam, kepinginnya siiich sebenarnya mau menikmati malam pertama
karena sudah resmi halal diantara kita berdua”. Akhirnya kami berdua pulang !.
Aku sangat bangga atas kekurangan yang kumiliki,
karena pernikahanku cukup sangat sederhana, bahkan tidak seperti
biasanya orang lain melakukan akad nikah, karena :
Ø Seharusnya malam pertama selesai nikah bisa
tidur berdua.
Ø Orang dari rumahku hanya dua orang saja
(aku dan cong K.Imam) pada saat pernikahan berlangsung.
Ø Keluargaku di rumah tidak tahu kalau aku di
rumah tulang rusukku sudah melangsungkan akad nikah.
Ø Aku tidak tahu kalau akan melangsungkan
pernikahan.
Ø Pernikahanku hanya disorot oleh beberapa
pasang-mata saja.
Yang jelas aku sudah bisa membuktikan akan komitmenku sejak berangkat dari rumah yaitu "FOKUS DENGAN TUJUAN" hanya untuk silaturrahmi.
Yang jelas aku sudah bisa membuktikan akan komitmenku sejak berangkat dari rumah yaitu "FOKUS DENGAN TUJUAN" hanya untuk silaturrahmi.
Wisudamu, Wisuda anakmu !
BalasHapusKau diwisuda tampa kudampingi, anakku anakmu yang mendampingimu !