Kamis, 02 Februari 2017

SKRIPSIMU : MENGANTARKAN KITA BERDUA MENJADI HALAL

“PerKAWINan menyimpan DERITA, namun hidup meLAJANG tidak memiliki keSENANGan”.
KEBAHAGIAN bukanlah suatu tahap yang kita RAIH tetapi lebih merupakan sebuah PERJALANAN”.
(Samuel Johnson, Penulis Inggris : 1709 - 1784)

Tepatnya hari jum’at sore setelah shalat maghrib tanggal 06 Februari 2009 di kampung Sasar Desa Kapedi Kec. Bluto terjadilah suatu hal yang tak diduga oleh kita berdua, tapi itulah kehendak Tuhan yang maha berKehendak.

Sore itu aku ingin tahu seperti siapa ayah-ibuku yang kedua, karena ayah-ibuku yang pertama sudah tiada. Aku sudah senang dan bahagia kali pertama walaupun belum tahu seperti siapa mereka berdua dan aku juga senang – bahagia karena sudah punya adik yang kedua (Faizatul Hasanah) setelah adik kandungku sendiri.

Saat itu kau sms kepadaku yang lagi asyik dengan obrolan di ruang tamu, mau minta diantarkan ke beberapa toko buku di Sumenep kota untuk membeli buku buat referensi tugas akhirmu di kampus INSTIKA = STIKA, dulu) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah yaitu skripsi. Karena kau belum halal untuk berboncengan, maka kusarankan untuk kau minta izin ke ibumu karena pada saat itu kau lagi ngumpul dengannya, entah kalimat apa yang kau sampaikan ke ibumu kok tiba-tiba aku dipanggil untuk masuk mendatangi kau dan ibumu. Saat aku mendatangi kau dan ibumu, ditanyakanlah tentang sms-mu tadi, dengan jujur aku menjawabnya “ia anakmu ngajakku untuk diantar membeli buku”. Ibunmu bilang, “Kalau kau mau ke Sumenep kota tentunya kan pasti berboncengan”, jawabku “ia”. “Lantasssssss, bagaimana denganku”. Tanya ibumu. Akupun bingung (apa beliau mau ikut atau bagaimana), dengan kebingunganku yang sangat, bertanyalah diriku “Maksudnya apa, saya kurang faham”. Ibumu menjelaskan, kalau setiap saat beliau sering ngasi tausiyah-tausiyah ke masyarakat untuk amar ma’ruf – nahi mungkar, akupun malah tambah bingung dan gagal faham maksudnya, dengan tanpa sungkan aku bertanya toh walaupun ini merupakan pertemuanku dengan ibu keduaku “Maksudnya apa ya kok saya tambah bingung”.

Ternyaaataaa jawaban beliau sungguh membuatku kaget serta tidak diduga sebelumya, beliau menjawab “MALAM INI JUGA KAU BERDUA AKAN DINIKAHKAN, SUPAYA ANAKKU BERBONCENGAN BESOK DENGAN LELAKI HALALNYA”. Aku tidak langsung menjawab dan masih bergumam dalam dada “kok bisa ibu keduaku ini langsung mau menikahkan, kan baru pertama kali kaki kuinjakkan di rumah ini”, lantas dengan segera aku menjawabnya “ia silahkan nikahkan malam ini juga”.

Moh. Tamzi Ghazali & Faizatul Hasanah Syaf
Lantasss, dalam hatiku “ini bener-bener  من حيث لا يحتسب dan memang ini yang sangat ditunggu tibanya”. Kemudian pindahlah aku ke tempat bertamu sambil menunggu momentum untaian lafad sakral yang belum kupelajari dulu yaitu kata قبلت نكاحها بذالك.

Singkat cerita, tiba-tiba datang seorang lelaki agak kecil terus aku dan ponakanku K. Imam Syafi’ie, M.Pd bersalaman dilanjutkan dengan obrolan saling mengenalkan diri, eeeeh sekalinya beliau adalah saudara dari ibu keduaku yang bernama Hannan. Di tengah serunya obrolan diantara kami (K. Musthofa, K. Taufiq, K. Hannan, K.Ali Mufi, cong Imam serta Moh.Tamzi dan yang lainnya) datanglah seorang perempuan (Ny. Nairatul Ahkamiyah) dan berdiri di dekat pintu lantas mengatkan “Ayo silahkan kalau sudah siap”, lantas dalam hatiku bertanya-tanya “Siapa yang akan menikahkanku ini, masak cuma ini saja orangnya ?”. sekalinya yang mau menikahkan yaitu orang yang duduk dijarak tiga orang ke kiriku yaitu K. Hannan. Lantas beliaupun bertanya “apa kau sudah siap ?”. aku menjawabnya “insyaallah sangat siap”.

Kemudian, proses pernikahanku berjalan dengan lancar, walaupun kata قبلت نكاحها بذالك belum sempat aku pelajari dulu tapi alhamdulillah kalimat itu tanpa harus aku ulangi alias sekali saja langsung "sah". Maka semenjak saat itulah aku tersadari, sebutan namaku di belakang bertambah titelnya (titel bukan dari duduk di bangku kuliah) tapi dari duduk di kursi tempat bertamu (korseh patamoyan) yaitu awalnya hanya :
“Moh. Tamzi”, menjadilah >>>
Moh. Tamzi suami dari Faizatul Hasanah”.

Karena nama belakangku bertambah “Faizatul Hasanah” maka kucarilah orang itu untuk kuberikan mas-kawainnya, kucari, kutanyakan ke ibu keduaku “adik ada dimana ya ?”, beliaupun menjawab sambil menunjukkan tangan “itu ada di kamarnya”.

Lantasss, aku datangi orang itu, ternyata dia sudah menunggu duduk di atas ranjangnya yang sederhana, kuberikan mas kawin tersebut, setelah diterima mas kawinya aku kembali ke tempat bertamu.

Waktu sudah berlalu dengan obrolan yang penuh keakraban layaknya saya sudah saling mengenal diantara mereka, padahal baru malam ini pertama kalinya. Akhirnya aku berdua pamit untuk pulang kembali ke rumah di kampung Dharmah di desa Bilapora Timur kec. Ganding, saat aku pamit ke Aba & Ummi mertua beliau berdua nanyain “Lhooooooh,,,kau mau ikut pulang juga, apa kau tidak mau tidur di sini ?. jawabku “ia saya mau pulang malam ini, karena tujuan saya kesini hanya mau tahu tentang di sini”. Kemudian kudatangi isriku di kamarnya untuk pamit kalau suaminya ini mau pulang, saat aku pamit “adik, aku mau pulang ke rumah”, dia pun menjawabnya dengan pertanyaan bukan dengan pernyataan “lhoooooh,,, mas tidak tidur di sini, kita kan sudah sama-sama halal mas ?” pinta istriku.

Aku pun menjawabnya lagi “adik, mas ke sini sebenarnya bukan untuk menikah dan pula bukan untuk tidur berdua malam ini, insyaallah besok malam kita tidur berdua, adik besok jam berapa akan mas jemput untuk pergi ke Sumenep kota untuk membeli buku referensi skripsimu?”. Istripun menjawab “pukul 07.00 wib saja mas”. “ia, adik tunggu saja besok pukul 07.00 wib mas akan datang tepat waktu".

Dalam benak hatiku “saya harus komitmen dengan tujuan awal datang ke sini hanya untuk silaturrahmi saja bukan untuk akad nikah apa lagi sampai bermalam, kepinginnya siiich sebenarnya mau menikmati malam pertama karena sudah resmi halal diantara kita berdua”. Akhirnya kami berdua pulang !.

Aku sangat bangga atas kekurangan yang kumiliki, karena pernikahanku cukup sangat sederhana, bahkan tidak seperti biasanya orang lain melakukan akad nikah, karena :
Ø Seharusnya malam pertama selesai nikah bisa tidur berdua.
Ø Orang dari rumahku hanya dua orang saja (aku dan cong K.Imam) pada saat pernikahan berlangsung.
Ø Keluargaku di rumah tidak tahu kalau aku di rumah tulang rusukku sudah melangsungkan akad nikah.
Ø Aku tidak tahu kalau akan melangsungkan pernikahan.
Ø Pernikahanku hanya disorot oleh beberapa pasang-mata saja.

Yang jelas aku sudah bisa membuktikan akan komitmenku sejak berangkat dari rumah yaitu "FOKUS DENGAN TUJUAN" hanya untuk silaturrahmi.



Bersambung...

1 komentar:

  1. Wisudamu, Wisuda anakmu !
    Kau diwisuda tampa kudampingi, anakku anakmu yang mendampingimu !

    BalasHapus