AL-QUR`AN HADITS (SURAT AD-DHUHA)
Surat Ad-Dhuha
وَالضُّحٰىۙ
1. Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah),
وَالَّيۡلِ اِذَا سَجٰىۙ
2. Dan demi malam apabila telah sunyi,
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىؕ
3. Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak
(pula) membencimu,
وَلَـلۡاٰخِرَةُ خَيۡرٌ لَّكَ مِنَ الۡاُوۡلٰىؕ
4. Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari
yang permulaan.
وَلَسَوۡفَ يُعۡطِيۡكَ رَبُّكَ فَتَرۡضٰىؕ
5. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya
kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
اَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيۡمًا فَاٰوٰى
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungi(mu),
وَوَجَدَكَ ضَآ لًّا فَهَدٰى
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu
Dia memberikan petunjuk,
وَوَجَدَكَ عَآٮِٕلًا فَاَغۡنٰىؕ
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kecukupan.
فَاَمَّا الۡيَتِيۡمَ فَلَا تَقۡهَرۡؕ
9. Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku
sewenang-wenang.
وَاَمَّا السَّآٮِٕلَ فَلَا تَنۡهَرۡؕ
10. Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau
menghardik(nya).
وَاَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan
(dengan bersyukur).
MEMAHAMI ISI KANDUNGAN SURAH AD-DUHÂ
1. Dalam ayat-ayat ini, Allah
bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha (waktu
matahari naik sepenggalah) bersama cahayanya dan malam beserta kegelapan dan
kesunyiannya, bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya, Muhammad, dan tidak pula
memarahinya, sebagaimana orang-orang mengatakannya atau perasaan Rasulullah
sendiri.
2. Dalam ayat-ayat ini, Allah
bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha (waktu
matahari naik sepenggalah) bersama cahayanya dan malam beserta kegelapan dan
kesunyiannya, bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya, Muhammad, dan tidak pula
memarahinya, sebagaimana orang-orang mengatakannya atau perasaan Rasulullah
sendiri.
3. Dalam ayat-ayat ini, Allah
bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha (waktu
matahari naik sepenggalah) bersama cahayanya dan malam beserta kegelapan dan
kesunyiannya, bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya, Muhammad, dan tidak pula
memarahinya, sebagaimana orang-orang mengatakannya atau perasaan Rasulullah
sendiri.
4. Dalam ayat ini, Allah
mengungkapkan sesuatu yang melapangkan dada Nabi saw dan menenteramkan jiwanya,
bahwa keadaan Nabi dalam kehidupannya di hari-hari mendatang akan lebih baik
dibandingkan dengan hari-hari yang telah lalu. Kebesarannya akan bertambah dan
namanya akan lebih dikenal. Allah akan selalu membimbingnya untuk mencapai
kemuliaan dan untuk menuju kepada kebesaran.
Seakan-akan Allah mengatakan kepada Rasul-Nya, "Apakah engkau kira
bahwa Aku akan meninggalkanmu? Bahkan kedudukanmu di sisi-Ku sekarang lebih
kukuh dan lebih dekat dari masa yang sudah-sudah."
Janji Allah kepada Nabi Muhammad terus terbukti karena sejak itu nama
Nabi saw semakin terkenal, kedudukannya semakin bertambah kuat, sehingga
mencapai tingkat yang tidak pernah dicapai oleh para rasul sebelumnya. Allah
telah menjadikan Nabi Muhammad sebagai rahmat, petunjuk, dan cahaya untuk
seluruh alam dan seluruh hamba-Nya. Allah menjadikan cinta kepada Nabi Muhammad
termasuk cinta kepada-Nya juga; mengikuti Nabi dan mematuhinya adalah jalan
untuk memperoleh nikmat-nikmat-Nya, serta menjadikan umat Nabi sebagai
saksi-saksi untuk manusia seluruhnya. Nabi saw sendiri telah menyiarkan agama
Allah sesuai dengan kehendak-Nya sehingga sampai ke pelosok-pelosok dunia.
Ini adalah suatu kebesaran yang tiada bandingnya, suatu keunggulan yang tiada
taranya, dan suatu kemuliaan yang tidak ada yang dapat mengimbanginya. Semua
itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
5. Dalam ayat ini, Allah
menyampaikan berita gembira kepada Nabi Muhammad, bahwa Dia akan terus-menerus
melimpahkan anugerah-Nya kepada beliau, sehingga beliau menjadi senang dan
bahagia. Di antara pemberian-Nya itu ialah turunnya wahyu terus-menerus setelah
itu sebagai petunjuk bagi Nabi saw dan umatnya untuk mendapat kebahagiaan hidup
di dunia dan hari akhirat. Dia akan memenangkan agama yang dibawa Nabi Muhammad
atas seluruh agama lainnya dan Dia akan mengangkat kedudukannya di atas
kedudukan manusia seluruhnya.
6. Dalam ayat ini, Allah
mengingatkan nikmat yang pernah diterima Nabi Muhammad dengan mengatakan,
"Bukankah engkau hai Muhammad seorang anak yatim, tidak mempunyai ayah
yang bertanggung jawab atas pendidikanmu, menanggulangi kepentingan serta
membimbingmu, tetapi Aku telah menjaga, melindungi, dan membimbingmu serta
menjauhkanmu dari dosa-dosa perilaku orang-orang Jahiliah dan keburukan mereka,
sehingga engkau memperoleh julukan Manusia sempurna."
Nabi saw hidup dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia
sedangkan ia masih dalam kandungan ibunya. Ketika lahir, Allah memelihara
Muhammad saw dengan cara menjadikan kakeknya, Abdul Muththalib, mengasihi dan
menyayanginya. Nabi Muhammad berada dalam asuhan dan bimbingannya sampai Abdul
Muththalib wafat, sedang umur Nabi ketika itu delapan tahun. Dengan
meninggalnya Abdul Muththalib, Nabi Muhammad menjadi tanggungan paman beliau,
Abu thalib, berdasarkan wasiat dari Abdul Muththalib. Abu thalib telah
mengerahkan semua perhatiannya untuk mengasuh Nabi saw, sehingga beliau
meningkat dewasa dan diangkat menjadi rasul. Setelah Muhammad diangkat menjadi
rasul, orang-orang Quraisy memusuhi dan menyakitinya, tetapi Abu thalib terus
membelanya dari semua ancaman orang musyrik hingga Abu thalib wafat.
Dengan wafatnya Abu thalib, bangsa Quraisy mendapat peluang untuk
menyakiti Nabi dengan perantaraan orang-orang jahat di kalangan mereka yang
menyebabkan beliau terpaksa hijrah.
Betapa hebatnya penggemblengan Allah dan asuhan-Nya terhadap Nabi
Muhammad. Biasanya keyatiman seorang anak menjadi sebab kehancuran akhlaknya
karena tidak ada pengasuh dan pembimbing yang bertanggung jawab. Apalagi
suasana dan sikap penduduk Mekah lebih dari cukup untuk menyesatkan Nabi saw.
akan tetapi, perlindungan Allah yang sangat rapi dapat mencegah beliau menemani
mereka. Dengan demikian, jadilah beliau seorang pemuda yang sangat jujur,
terpercaya, tidak pernah berdusta, dan tidak pernah berlumur dengan dosa
orang-orang Jahiliah.
7. Dalam ayat ini, Allah
mengungkapkan, bahwa Dia mendapatkan Nabi Muhammad dalam keadaan tidak mengerti
tentang syariat dan tidak mengetahui tentang Al-Qur'an. Kemudian Allah
memberikan petunjuk kepadanya.
Hal yang sangat membingungkan Nabi Muhammad adalah apa yang dilihatnya
di kalangan bangsa Arab sendiri tentang kerendahan akidah, kelemahan
pertimbangan disebabkan pengaruh dugaan-dugaan yang salah, kejelekan amal
perbuatan, dan keadaan mereka yang terpecah-belah dan suka bermusuhan. Mereka
menuju kepada kehancuran karena memakai orang-orang asing yang leluasa
bertindak di kalangan mereka yang terdiri dari bangsa Persi, Habsyi, dan
Romawi.
Jalan apakah yang harus ditempuh untuk membetulkan akidah-akidah mereka,
membebaskan mereka dari pengaruh adat istiadat yang buruk itu, dan cara
bagaimana yang harus dijalankan untuk membangunkan mereka dari tidur yang
nyenyak itu?
Umat-umat nabi lain pun tidak lebih baik keadaannya daripada umatnya.
Tetapi walaupun begitu, Allah tidak membiarkan Nabi Muhammad menjalankan dakwah
tanpa bantuan-Nya. Allah bahkan memberikan wahyu yang menjelaskan kepadanya
jalan yang harus ditempuh dalam usaha memperbaiki keadaan kaumnya. Allah
berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur'an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur'an)
dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur'an itu cahaya, dengan itu Kami
memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
(asy-Syura/42: 52)
8. Dalam ayat ini, Allah
menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang miskin. Ayahnya tidak
meninggalkan pusaka baginya kecuali seekor unta betina dan seorang hamba sahaya
perempuan. Kemudian Allah memberinya harta benda berupa keuntungan yang amat
besar dari memperdagangkan harta Khadijah dan ditambah pula dengan harta yang
dihibahkan Khadijah kepadanya dalam perjuangan menegakkan agama Allah.
Dari keterangan-keterangan tersebut di atas, sesungguhnya Allah
mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa Dialah yang memeliharanya dalam keadaan
yatim, menghindarkannya dari kebingungan, dan menjadikannya berkecukupan. Allah
tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad selama hidupnya.
9. Sesudah menyatakan dalam
ayat-ayat terdahulu tentang bermacam-macam nikmat yang diberikan kepada Nabi
Muhammad, maka pada ayat ini, Allah meminta kepada Nabi-Nya agar mensyukuri
nikmat-nikmat tersebut, serta tidak menghina anak-anak yatim dan memperkosa
haknya.
Sebaliknya, Nabi Muhammad diminta mendidik mereka dengan adab dan
sopan-santun, serta menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa mereka, sehingga
mereka menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak menjadi bibit kejahatan
yang merusak orang-orang yang bergaul dengannya. Nabi Muhammad bersabda:
Aku (kedudukanku) dan orang yang mengasuh anak yatim di surga (sangat
dekat), seperti dua ini (dua jari, yaitu telunjuk dan jari tengah).(Riwayat
at-Tirmidhi dari Sahl bin Sa'ad)
Barang siapa yang telah merasa kepahitan hidup dalam serba kekurangan
maka selayaknya ia dapat merasakan kepahitan itu pada orang lain. Allah telah
menghindarkan Nabi Muhammad dari kesengsaraan dan kehinaan, maka selayaknya
Nabi memuliakan semua anak yatim sebagai tanda mensyukuri nikmat-nikmat yang
dilimpahkan Allah kepadanya.
10. Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar orang-orang yang meminta sesuatu
kepadanya jangan ditolak dengan kasar dan dibentak, malah sebaliknya diberi
sesuatu atau ditolak secara halus. Ada pendapat bahwa yang dimaksud dengan kata
as-sa'il adalah orang yang memohon petunjuk, maka hendaknya pemohon ini
dilayani dengan lemah lembut sambil memenuhi permohonannya.
11. Dalam ayat ini, Allah
menegaskan lagi kepada Nabi Muhammad agar memperbanyak pemberiannya kepada
orang-orang fakir dan miskin serta mensyukuri, menyebut, dan mengingat nikmat
Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Menyebut-nyebut nikmat Allah yang telah
dilimpahkan kepada kita bukanlah untuk membangga-banggakan diri, tetapi untuk
mensyukuri dan mengharapkan orang lain mensyukuri pula nikmat yang telah
diperolehnya. Dalam sebuah hadis, Nabi saw mengatakan:
Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia tidak mensyukuri Allah.
(Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmizi dari Abu Hurairah).
Kebiasaan orang-orang kikir sering menyembunyikan harta kekayaannya
untuk menjadi alasan tidak bersedekah, dan mereka selalu memperdengarkan
kekurangan. Sebaliknya, orang-orang dermawan senantiasa menampakkan pemberian
dan pengorbanan mereka dari harta kekayaan yang dianugerahkan kepada mereka
dengan menyatakan syukur dan terima kasih kepada Allah atas limpahan
karunia-Nya itu.
MEMAHAMI ISI KANDUNGAN SURAH AD-DUHÂ
Sudahkah kalian
mengetahui isi kandungan surah ad-Duhâ, baik ayat per ayat atau secara
keseluruhan? ikuti penjelasan berikut ini. Surah ad-Duhâ terdiri dari 11 ayat.
dan merupakan urutan surah ke-93 dalam al-Qur’an, Diturunkan sesudah surah
Al-Fajar. Termasuk golongan surah Makkiyah karena turun di Makkah. Ad-Duhâ
berarti waktu matahari sepenggalahan naik.
Adapun nama Ad-Duhâ
diambil dari lafazh ad-Duhâ yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Surah ad-Duhâ terletak
setelah surah al-Lail dan sebelum surah al-Insyirah.
Surah ad-Duhâ turun
berkaitan dengan masa-masa kekosongan yang sempat terhenti beberapa saat atau
dikenal dengan istilah Fatratul Wahyi (masa-masa
kekosongan turunnya wahyu). Hal itu menyebabkan orang-orang kair mengejek Nabi
Muhammad dan menyebarkan isu bahwa Nabi Muhammad telah ditinggalkan oleh Allah.
Dengan adanya isu tersebut Nabi Muhammad merasa sangat gelisah.
Beberapa saat
kemudian Allah menurunkan Surah Ad- Duha untuk memberikan kabar gembira kepada
Nabi Muhammad. Waktu Duha merupakan waktu yang menyenangkan. Pada waktu Duha
burung-burung bernyanyi, panas matahari belum terlalu menyengat, udara terasa
sejuk, dan orang-orang masih memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja. Waktu
duha menjadi gambaran bahwa surah ini memberikan kesejukan di hati Nabi
Muhammad yang mengharapkan turunnya wahyu. Turunnya surah ini menjadi bukti
bagi orang-orang kafir bahwa Allah tidak meninggalkan Nabi Muhammad.
Dari bukti
tersebut bisa kita ambil hikmahnya, yaitu segala sesuatu itu tidak hanya
mengalami kebahagiaan saja. Namun terkadang kita mengalami kesedihan. Seperti
yang ada di dalam surat Ad-Dhuha, Allah mengenalkan ada waktu siang kemudian
ganti waktu malam. Dari sinilah kita diajari oleh Allah tentang kehidupan yang tidak
selamanya hidup di dunia itu bahagia, tapi kadang kala mengalami kesedihan.
Dari situlah kita
bisa belajar sedikit-sedikit dalam menjalani kehidupan ini agar tidak mudah
putus asa. Karena putus asa adalah sifatnya syetan.
Kembali ke
konteks, mengenai anggapan orang kafir kalau Allah menurunkan wahyu kepada Nabi
Muhammad itu terlambat. Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad itu
berdasarkan kebutuhan Nabi Muhammad bukan karena Allah benci kepada beliau,
namun itu semua ada hikmahnya.[1] Bahkan Allah bersumpah demi waktu
dhuha dan waktu malam bahwasannya Allah tidak meninggalkan ataupun membenci
Nabi Muhammad.
Dalam ayat 1-3
Allah bersumpah dengan menggunakan dua waktu yaitu waktu Duhâ dengan
cahayanya, dan waktu malam dengan kegelapan dan kesunyiaannya,
untuk menyatakan bahwa Allah tidak meninggalkan Rasulnya (Muhammad), dan tidak
pula memarahinya, sebagaimana perkataan orang-orang kafir atau perasaan Rasulullah
sendiri.
Setiap keadaan
pasti akan berubah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh Allah. Ada
siang-ada malam, ada muda-ada tua dan seterusnya. Terus itu semua, apa yang
akan kita lakukan terhadap perubahan-perubahan yang nyata seperti itu?. Kita
sebagai manusia tentu telah dilengkapi oleh Allah berupa akal dan perasaan.
Akal kita gunakan
untuk berfikir, mengapa Allah menciptakan pagi/siang dan malam, silih berganti
waktu. Itu semua kita diperintah Allah untuk menggunakan waktu dengan
sebaik-baiknya. Karena waktu tidak akan kembali dengan keadaan yang sama. Namun
waktu itu akan kembali dengan keadaan yang sudah berbeda dengan waktu yang
sebelumnya.
Ayat ke-4
surah ad-Duhâ mengungkapkan keadaan Nabi di hari-hari yang
akan datang akan lebih baik dari hari-hari yang telah lalu. Ayat ini juga
memiliki maksud bahwa kehidupan di akhirat lebih utama daripada kehidupan di
dunia.
Wajar, kita sedang
di alam dunia tentu mencintai dunia ini. Namun ketahuilah, cinta dunia yang
berlebihan akan menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Cinta dunia yang tidak
berlebihan, yang digunakan untuk bekal beribadah, justru akan bernilai barokah
dunia yang kita miliki ini.
Kehidupan dunia
ini hanyalah sementara, kehidupan yang sebenarnya adalah kelak di akhirat. Oleh
karena itu hidup di dunia ini hanyalah untuk berladang amal kebaikan yang
nantinya akan kita tuai di akhirat. Jika amal keburukan pun juga akan dituai di
akhirat. Jika kita sebagai manusia yang normal tentu akan memilih amal
kebaikan. Begitupun sebaliknya.
Pada ayat ke-5
Allah menyampaikan berita gembira kepada Nabi Muhammad bahwa Allah terus
menerus melimpahkan karunia-Nya kepada beliau, sehingga beliau menjadi senang
dan bahagia. Diantara karunia itu adalah telaga al-Kautsar yang
di kedua tepinya terdapat kubah-kubah dari mutiara dan dasarnya misik wangi.
Disamping itu Allah memberikan karunia kepada beliau berupa hak untuk
memberikan syafaat kepada umatnya.
Rasulullah
bersabda yang artinya: Keluarkan semua umat Nabi Muhammad dari api
neraka walau dengan seberat biji zarrah pun keimanan, kebaikan dihati seseorang
maka aku akan berikan kehidupan yang lebih mulia di akhirat.
Dalam Al-Qur’an Allah
mengelompokkan manusia menjadi empat golongan, yaitu:
1. 1. Golongan manusia yang Bahagia di Dunia tapi Celaka di Akhirat.
Mereka adalah
orang-orang yang rajin beribadah (shalat, puasa, sedekah, haji, tahajud, dan
lain-lain), tapi bukan untuk mencari ridlo Allah melainkan untuk tujuan dunia,
pangkat, jabatan, riya.
Sering kita temui di dunia milenial saat ini yang diiringi kecanggihan keilmuan
dan teknologi sehingga mudah untuk berkomunikasi. Dengan kecanggihan teknologi
tersebut, terkadang orang-orang menyalahgunakan dalam hal ibadah. Di saat
selesai menjalankan amal baik atau akan melakukan amal baik kerap mengunggah
atau meng-uploadnya di social media. Sehingga banyak orang yang melihat. Jika
orang tersebut tidak kuat imannya, tentu akan terjerumus pada sifat riya` atau
sum`ah, ingin dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu, segala aktifitas kita
sehari-hari hendaknya di mantapkan untuk mencari ridho Allah bukan yang
lainnya.
2. 2. Golongan manusia yang Bahagia di Akhirat tapi Sengsara di Dunia.
Meraka orang-orang yang sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah,
konsisten dan konsekuen tidak meninggalkan agamanya dikala suka dan duka,
disaat sempit maupun lapang, hingga meninggal dalam keadaan beriman.
Manusia yang diuji oleh Allah terkadang mengeluh dan tidak jarang juga mereka
yang tidak sabar dalam menghadapinya. Allah memberikan ujian kepada hamba-Nya
pasti ada hikmahnya. Ketika diuji berusahalah untuk sadar kalau ujian tersebut
diberikan oleh Allah yang nantinya ada hikmahnya. Dan berusaha untuk menguatkan
imannya agar tidak goyah dalam menghadapinya. Hidup di dunia sifatnya hanya
sementara, namun akhirat pasti abadi. Tetap fokus pada akhirat, tapi jadikan
kehidupan dunia ini untuk lading akhirat kelak.
3.
3. Golongan manusia yang
sengsara di Dunia dan sengsara di Akhirat.
Meraka orang-orang yang tidak mau mengikuti para Rasul Allah bahkan ada yang
mendustakannya. Kita sudah tahu kalau kehidupan dunia itu sifatnya
sementara. Kehidupan akhirat sifatnya abadi. Jika ada manusia yang kedua-duanya
mengalami kesengsaraan, tentu itu berawal dari kehidupan dunianya yang tidak
didasari rasa iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita masih menjalani hidup dan
kehidupan di dunia ini, alangkah baiknya meningkatkan keimanan kita kepada
Allah dan Rasul-Nya serta menjalani perintah dan menjauhi larangan-Nya demi
mendapatkan ridho-Nya
4. Golongan manusia yang Bahagia di
Dunia dan Bahagia di Akhirat
Meraka orang-orang yang beriman dan beramal shalih baik laki-laki maupun
perempuan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Misi Rosulullah saat
diutus oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.
Dari akhlak yang baik, kehidupan beragama dan bersosialpun akan menjadi baik.
Akhlak kita kepada Allah sudah barang tentu selalu menjalankan perintah Allah
dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Berakhlak dalam bersosial dengan baik,
tidak menyakiti orang lain, berlaku yang sopan dan tidak merusak fasilitas umum
yang bermanfaat bagi orang lain.
Dalam ayat ke-6, 7, dan 8 diceritakan masa lalu Nabi Muhammad adalah sebagai :
– Seorang yatim, karena
ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalamkandungan ibunya, kemudian
Allah memberikan perlindungan melalui kakeknya dan pamannya untuk mengasuh dan
melindunginya dari ancaman orang-orang kafir.
– Seorang yang bingung (bingung
dalam mencari kebenaran karena beliau tidak mengetahui tentang syariat) yang
saat itu bangsa Arab sangat rendah akhlaknya dan tidak benar aqidahnya
(menyembah berhala), kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya
– Seorang yang
kekurangan (miskin), di mana ayahnya tidak meninggalkan harta, kecuali seekor
unta betina dan seorang hamba sahaya perempuan. Kemudian Allah memberinya harta
benda berupa keuntungan yang amat besar dari memperdagangkan harta Khadijah dan
ditambah dengan harta hibah dari Khadijah untuk memperjuangkan dan menegakkan
Agama Islam.
Ayat 9 dan 10, menjelaskan bahwa sesudah beliau mendapatkan bermacam-macam
nikmat dari Allah (karunia yang besar, sebagai yatim dilindungi Allah, sebagai
seorang yang bingung diberi petunjuk, dan sebagai seorang yang miskin diberi
kecukupan), maka beliau diperintahkan untuk memiliki sikap kepedulian sosial
kepada: anak yatim dan orang-orang yang meminta-minta baik
orang yang meminta karena fakir/miskin maupun orang yang minta
petunjuk. Untuk itu permintaan tersebut harus dilayani dengan lemah lembut,
dan tidak boleh berkata kasar (menghardiknya).
Dalam ayat ke-11, Allah menegaskan lagi kepada Nabi Muhammad agar memperbanyak
pemberian kepada orang-orang fakir dan miskin serta mensyukuri, menyebut, dan
mengingat nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Menyebut-nyebut nikmat
Allah yang telah dilimpahkan kepada kita bukanlah untuk membangga-banggakan
diri, tetapi untuk mensyukuri dan mengharapkan orang lain mensyukuri pula
nikmat yang telah diperolehnya.