Jumat, 23 Februari 2018

ADAKAH DELIK ADUAN YANG TETAP DIPROSES MESKI PENGADUANNYA SUDAH DICABUT?

Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.

Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.

Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:
a.     Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
b.     Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.

Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).

Lebih lanjut Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.

Pada intinya, terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas persetujuan korbannya. Jika pengaduannya kemudian dicabut, selama dalam jangka waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan. Namun, setelah melewati tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak dicabut setelah melewati waktu tiga bulan, proses hukum akan dilanjutkan. Kecuali untuk kejahatan berzinah (lihat Pasal 284 KUHP), pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan.

Demikian, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).

BERAPA LAMA HUKUMAN PENJARA UNTUK PELAKU KDRT

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT”).

UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang, memukuli dan mengencingi adalah DILARANG.

Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).

Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tanggawajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a.     mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.     memberikan perlindungan kepada korban;
c.      memberikan pertolongan darurat; dan
d.     membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat KITA lakukan adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?

Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.

Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).

Namun, apabila ORANG LAIN melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).

Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Demikian, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

PASAL-PASAL TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK


Pasal 310 KUH Pidana
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Pasal 311 KUHPidana
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
pasal 315 KUHP:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51 ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Demikian, semoga bermanfaat.

SYARAT AGAR TUDUHAN DAPAT DIANGGAP SEBAGAI FITNAH

Pada dasarnya, untuk dikatakan sebagai fitnah perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Unsur-unsur dari Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:
1.    Seseorang;
2.    Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan;
3.    Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar;

Akan tetapi, unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP ini harus merujuk pada ketentuan menista padaPasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“

Mengenai Pasal 311 ayat (1) KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa kejahatan pada pasal ini dinamakan memfitnah. Atas pasal ini, R. Soesilo merujuk kepada catatannya pada Pasal 310 KUHP no. 3 yang menjelaskan tentang apa itu menista.

Dalam penjelasan Pasal 310 no. 3, sebagaimana kami sarikan, R. Soesilo mengatakan antara lain bahwa untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).

Sebagai tambahan, mengenai “perbuatan yang dituduhkan” dalam Pasal 310 KUHP ini, S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP,  Sianturi berpendapat (hal. 560) bahwa yang dituduhkan itu dapat berupa berita yang benar-benar terjadi dan dapat juga “isapan jempol” belaka.

Jadi, menurut kami, sepanjang tuduhan dari ORANG LAIN tidak tersiar atau diketahui orang banyak, maka perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai fitnah

Agar perbuatan ORANG LAIN itu masuk ke dalam perbuatan yang dirumuskan pada Pasal 311 ayat (1) KUHP, perbuatan ORANG LAIN tersebut harus diketahui oleh orang banyak, dan perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak benar.

Jika yang dituduhkan tersebut benar akan tetapi tersiarnya tuduhan tersebut bukan demi kepentingan umum atau membela diri sendiri (Pasal 310 ayat [3] KUHP), maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang penistaan atau penghinaan. Jika tuduhan perbuatan tersebut terbukti tidak benar, maka dapat dipidana dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai fitnah.

Jadi, jika KITA merasa tidak bersalah, KITA dapat membiarkan ORANG LAIN melaksanakan tuduhannya, yaitu menceritakan perbuatan yang dituduhkannya kepada ORANG LAIN. Dengan begitu, maka tuduhan tersebut menjadi tersiar (diketahui orang banyak). Sehingga perbuatan  ORANG LAIN tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP atau Pasal 311 ayat (1) KUHP (bergantung pada apakah terbukti tuduhan tersebut disiarkan untuk kepentingan umum atau membela diri, serta apakah tuduhan tersebut benar atau tidak).

Demikian, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:
1.    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
2.    S.R. Sianturi. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Alumni AHM-PTHM.