Senin, 26 Desember 2016

BUKU PENERIMAAN RAPORT

https://drive.google.com/file/d/0BwXWUbnRokFSd25nbEFrMVFJTGc/view?usp=sharing

GURU PROFESIONAL YANG KREATIF

Dengan menjadi kreatif guru akan dapat menunjukkan kinerja yang baik. Guru Kreatif sebagai salah satu ciri guru profesional yang mampu melaksanakan tugas secara berkesinambungan kapanpun dan dimanapun. Kreatifitas merupakan sifat pribadi seorang individu yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Suasana keakraban pada saat di Sekolah
Guru mempunyai peran dalam keberhasilan pendidikan. Harapan agar bisa memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan disematkan dalam proses dan hasil pendidikan. Walau masing banyak ditemukan guru yang belum memiliki kreatifitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik.

Setiap guru sebenarnya memiliki potensi kreatif, namun dalam derajat yang berbeda-beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk itu diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar (lingkungan) maupun dari dalam individu sendiri untuk menjadi guru kreatif.

Guru yang kreatif dapat dicirikan dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya secara professional yang meliputi 9 ciri yang harus diusahakan guru lakukan agar ia termasuk guru yang kreatif, yaitu:

1) Mampu mengekspos siswa pada hal-hal yang bisa membantu mereka dalam belajar,
2) Mampu melibatkan mereka dalam segala aktivitas pembelajaran,
3) Mampu memberikan motivasi buat siswa baik secara verbal maupun non verbal,
4) Mampu mengembangkan strategi pembelajaran (penerapan pendekatan, metode, model dan tehnik) dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan karakter materi,
5) Mampu menciptakan pembelajaran yang joyful dan meaningful,
6) Mampu berimprovisasi dalam proses pembelajaran
7) Mampu membuat dan mengembangkan media pembelajaran yang menarik dan aplikatif,
8) Mampu membuat dan mengembangkan bahan ajar yang variatif, dan
9) Mampu menghasilkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran.

Kreatifitas akan mampu mendatangkan perubahan. Mengubah paradigma lama menuju paradigma baru dalam melakukan pembelajaran adalah sebuah tuntutan bukan tawaran. Eksistensi guru sebagai pendidik itu ada justru karena perubahan itu sendiri.
===





Sumber : Kumpulan Makalah hasil Diklat, Workshoop dll.






MURNI KESALAHAN GURU JIKA ANAK TIDAK NAIK KELAS


Kesalahan guru, sebab guru tidak dapat mengenali murid-muridnya dengan baik.


Masih banyaknya anak sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tidak naik kelas, adalah murni karena kesalahan guru. Sebab guru tidak dapat mengenali murid-muridnya dengan baik. Guru mengajar tidak sesuai dengan kondisi anak, sehingga terjadi pemaksaan sistem pendidikan pada anak.

Diharapkan, pemerintah ataupun pengelola lembaga pendidikan harus lebih memperhatikan guru yang mengajar untuk kelas awal. Pasalnya, jika terjadi penyimpangan, tentu akan merusak sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.

Sangatlah kita sayangkan, kebijakan guru dan sekolah yang masih memberlakukan budaya tidak naik kelas khususnya pada anak kelas 1-3. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015/2016, terdapat 422.082 orang siswa SD / MI yang tidak naik kelas. Ini menunjukkan ketidakonsistenan pendidikan Indonesia.

"Jika benar ada banyak sekolah yang masih memberlakukan sistem tinggal kelas, tentu tidak konsisten dengan arah pendidikan kita. Di satu sisi, pemerintah menghapus UN agar tidak membebani siswa, tapi di sisi lain siswa tetap dibebani dengan sanksi tidak naik kelas,"


Bukan hanya itu, dalam proses penilaian sudah jelas ada Standar Ketuntasan Minimal, jika anak masih belum tuntas maka guru tersebut harus lebih inten terhadap siswa tersebut bisa tuntas sesuai KD-KD yang sudah ada. Ketika itu sudah tuntas, kenapa juga masih harus tidak naik kelas.
Anak usia 0-9 tahun tidak dapat dipaksa untuk belajar dengan keras, dipaksa belajar pengetahuan sesuai kurikulum. Anak dengan usia yang masih muda harus diberi kebebasan sehingga kurikulumnya harus alamiah. Sistem pendidikan yang digunakan adalah pendekatan yang tidak terlalu formal. Anak harus dididik se-NATURAL mungkin sehingga tidak menjadi sebuah beban.




CARA JEPANG MEMANDANG GURU YANG HARUS DITIRU INDONESIA

"Doktor mengajar anak-anak SD juga menunjukkan bahwa guru sudah menjadi profesi yang serius".


Jepang menilai guru sebagai profesi yang sangat penting dan berharga karena bertugas mendidik anak bangsa. Di sana,profesi guru sudah tertata dengan baik. Indonesia dinilai perlu mencontoh Jepang dalam memandang profesi guru.

Di Jepang yang mengajar anak-anak SD bukan lulusan S1 tapi doktor. Ini menunjukkan mereka sangat serius menganggap profesi guru dan mereka sadar pendidikan dini itu sangat penting karena pertumbuhan otak anak terjadi antara usia antara 0 sampai 10 tahun.

Doktor mengajar anak-anak SD juga menunjukkan bahwa guru sudah menjadi profesi yang serius makanya harus profesional. Di sana guru sudah seperti profesi dokter atau pengacara, artinya orang yang sangat ahli dan kompeten di bidangnya.

Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Ferdiansyah, ini jauh berbeda dengan di Indonesia. Umumnya, kata dia di Indonesia orang mau jadi guru jika tak diterima menjadi PNS atau kerja di bank.

"Ibaratnya di Indonesia orang mau jadi guru daripada nganggur. Padahal seharusnya jadi guru itu bukan pekerjaan alternatif karena harus dilakukan oleh orang profesional," kata Ferdiansyah


Menjadi guru itu tak sekadar mengajar. Seorang guru harus menguasai pedagogik makanya pendidikannya harus keguruan, tidak seperti saat ini siapa saja bisa jadi guru tak peduli lulusan fakultas apa.

Ferdiansyah mengatakan harus ada kepastian jenjang karirnya. Selain itu juga harus ada konsep pengembangan karir guru yang jelas.Dengan adanya jenjang karir guru maka nanti ada kategori guru. Misalnya guru kelas a, b, c, d, e, dan f.

"Kelas ini berkaitan dengan kesejahteraan guru. Tidak seperti sekarang, guru mau rajin, guru mau malas tunjangan profesinya sama Rp 2 juta padahal harus dibedakan sesuai dengan kualitasnya." kata Ferdiansyah.

====





Sumber :


http://www.sekolahdasar.net/2016/12/cara-jepang-memandang-guru-yang-harus-ditiru-indonesia.html?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+sekolahdasar+%28SekolahDasar.Net+RSS+Feed%29

Minggu, 25 Desember 2016

diary of sara in sangata 2016



Kisah perjalanan hidup seorang gadis yg lugu bernama Sara, kepintaran yg dimilikinya membuat cita-citanya sebagai seorang psikolog akirnya tercapai.
Kesuksesan yg dia capai ternyata hanya sesaat, kesalahan yg dia pernah perbuat semasa kuliah menjadi penyesalan seumur hidup.
Perjalanan hidup sejak masa SMA hingga menjadi seorang psikolog semua dituangkan dalam buku diarynya.
Film ini diangkat sebagai pembelajaran hidup.

diary of sara in sangata
2016

PEMBELAJARAN BTHA KELAS MIN 1 KUTAI TIMUR


AFIQ BELAJAR BERDIRI


ELIQ SELALU NAIK DI ABANYA


KOK SERIUS BANGET SIIH BAAA


PEMEBELAJARAN ANAK KELAS 2 A MIN 1 KUTAI TIMUR


Selasa, 20 Desember 2016

ANCAMAN BAGI ORANG TUA MENGABAIKAN PENDIDIKAN ANAKNYA



Lantas, bagaimana dengan orangtua yang menelantarkan anaknya, mengabaikan hak anak memperoleh pendidikan dari orangtuanya? .
Beberapa ancaman yang diterima orangtua seperti itu. Pertama, bisa berupa ancaman dunia. Kalau orangtua tidak bisa mendidik anak dengan benar, maka anak yang tadinya nikmat dan anugerah Allah swt, bisa berubah menjadi fitnah atau ujian. Kedua, orangtua, baik ayah maupun ibu, tentu akan ditanya oleh Allah, terkait dengan anak. Kenapa? Karena anak adalah titipan Allah, nikmat dari Allah, dan seluruh kenikmatan yang kita terima akan dipertanyakan oleh Allah kelak. Kemudian, terancam tidak masuk surga, bila orangtua tidak cemburu pada anak. Maksudnya, ketika melihat anak berbuat maksiat, atau istri berbuat maksiat, dibiarkan saja, tidak ada kecurigaan atau kecemburuan untuk meluruskannya.
Ketika anak disia-siakan, tidak dididik dengan baik, maka yang paling bertanggungjawab adalah orang yang paling menyia-nyiakan anaknya itu, yang tidak peduli pada anak-anaknya. Ini bisa jadi ayahnya atau ibunya. Tapi tentu, yang menentukan apakah orangtua gagal atau berhasil dalam mendidik anak adalah Allah swt. Kewajiban ayah dan ibu, hanya sebatas melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, yaitu serius dalam memutaba’ah kegiatan anak, serius dalam menyayangi, serius dalam memerhatikan. “Kalau semua sudah dijalani, walaupun anaknya enggak bener, insya Allah, ayahnya tidak dikatakan gagal atau tidak bertanggungjawab.”
contoh Nabi Nuh, beliau tidak dikatakan gagal. Kenapa? Karena Nuh sudah berdakwah siang dan malam, sudah menunaikan tugasnya semaksimal mungkin, meskipun anak dan istrinya tetap memilih jalannya, tidak mau beriman kepada Allah.
 
Berlaku seumur hidup
Ketika anak yang diasuh dan dididik sedari kecil mencapai usia dewasanya, kemudian dia menikah, orangtua merasa itulah saat di mana semua tanggung jawab dan kewajiban terhadap anak yang selama ini dipikulnya selesai pula. Cukup sering kita mendengar pernyataan yang dilontarkan orangtua saat anaknya melangkah ke pelaminan, “Alhamdulillah, sudah selesai kewajiban saya, anak saya sudah berumahtangga...” Memang, ketika anak menikah, gugur pula kewajiban orangtua terhadap anak, tapi itu tidak seluruhnya. “Kewajiban memberi nafkah selesai sampai di situ, tapi kewajiban menasehati, memutaba’ah (memonitor), mendidik, mendakwahi, memberikan tausiyah, itu terus, sampai seumur hidup. jangankan sama anak, sama orang lain pun kita wajib berdakwah,”
Makanya, dalam Islam, tidak ada kata berhenti untuk mendidik anak, sekalipun anak itu sudah menikah dan berada dalam tanggung jawab orang lain.
=====
Ditulis Oleh : Moh. Tamzi, S.Pd.I (Guru MIN. 1 Kutai Timur)
Disampaikan pada acara “Pembabagian Raport” Semester Ganjil pada Jum’at 16 Desember 2016

PENDIDIKAN ANAK DISERAHKAN KE IBU DAN SEKOLAH ??





Baik ayah maupun ibu sama-sama memikul tangg
ung jawab untuk mendidik anak-anaknya, mengantarkan mereka menjadi hamba Rabbani yang mampu memenuhi segala tuntutan hidup yang datang pada dirinya.
Tetapi, bagaimana kiranya jika ayah menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak ini kepada sang ibu, dengan alasan waktu yang dia miliki sudah banyak tersita di luar rumah untuk mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu yang tersisa untuk mengurus dan mendidik anak-anak.
Bahkan yang lebih ekstremnya lagi, sang ayah merasa sudah cukup dengan menyerahkan anak-anak ke sekolah-sekolah ternama, misalnya, untuk dididik oleh guru-guru yang berpengalaman. Fenomena ini tak jarang kita saksikan, atau juga kita alami sendiri, dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bila kondisi sang ayah yang mempunyai kewajiban mencari nafkah akhirnya lebih banyak berada di luar rumah, seringkali sang ibulah yang kemudian menjadi pihak yang paling “bertanggungjawab” atas pendidikan anak, dan menempatkan posisi ayah hanya sebagai pengawas, atau polisi, yang muncul sesekali sebagai penegak hukum.
Karena itu, sekalipun sang ayah sudah memenuhi kewajibannya mencari nafkah, hal itu tidak serta merta menggugurkan kewajibannya dalam mendidik anak, sehingga dia dapat menyerahkan semua urusan pendidikan anak ini hanya kepada sang ibu. “Tetap, intinya antara ayah dan ibu harus saling bekerjasama. Peran keduanya tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam pendidikan anak,”
Begitu pula bila urusan pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Kewajiban mendidik anak, yang utama jelas terletak pada kedua orangtua, ayah dan ibu. Bukan pada sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.
Keberadaan lembaga pendidikan sesungguhnya lebih bersifat sekadar membantu. Pendidikan yang sebenarnya tetap berasal dari orangtua. “Jangan sampai juga orangtua jatuh pada pemahaman yang salah mengenai sekolah, “saya sudah bayar, kenapa anak saya masih bodoh, kenapa anak saya belum hafal Al-Quran, kenapa anak saya tidak bisa matematika?”
Pemikiran macam ini jelas tidak benar. Sebab harus ada sinkronisasi antara tugas orangtua dan tugas guru. “Di sekolah, gurulah yang sekaligus menjadi orangtua. Namun di  rumah, orangtualah yang sekaligus menjadi guru bagi anak-anaknya. Jadi baik di rumah ataupun di sekolah, anak-anak berada dalam suasana madrasi, suasana sekolah, sehingga anak bisa terpantau terus.

KISAH SEORANG ANAK YANG BODOH MENJADI PENGARANG KITAB


Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau adalah seorang anak yatim, Ayahnya meninggal pada saat beliau masih berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika beliau masih balita. Di bawah asuhan kakak kandungnya, beliau tumbuh menjadi remaja yang rajin, pekerja keras dan sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupannya serta memiliki kemandirian yang tinggi. Beliau dilahirkan pada tanggal 22 sya’ban tahun 773 Hijriyah di pinggiran sungai Nil di Mesir.

Nama asli beliau adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Qabilah yang berasal dari Al-Asqalan. Namun ia lebih masyhur dengan julukan Ibn Hajar Al Asqalani. Ibnu Hajar berarti anak batu sementara Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.

Suatu ketika, saat beliau masih belajar disebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin, namun ia juga dikenal sebagai murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi.

Beliaupun memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya, hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam sebuah gua. Ketika berada didalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Beliau pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban. Melihat kejadian itu beliaupun merenung, bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus. Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika ia di asah trus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar.

Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar dijiwa beliau, gurunya pun berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu.

Sejak saat itu perubahan pun terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan malampaui teman-temannya yang telah manjadi para Ulama besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal dijaman kita skrang ini. Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.

Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).

Catatan: “Kisah Beliau diatas bisa menjadi motivasi bagi kita semua, bahwa sekeras apapun itu dan sesusah apapun itu jika kita betul-betul ikhlas dan tekun serta continue dalam belajar niscaya kita akan menuai kesuksesan. Jangan pernah menyerah atau putus asa, karena kegagalan itu hal yang biasa, tapi jika Anda berhasil bangkit dari kegagalan, itu baru luar biasa.

 ,,,,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ,,,, )١١(
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. ( QS. Ar Rad : 11 ).

========
Ditulis Oleh : Moh. Tamzi, S.Pd.I (Guru MIN. 1 Kutai Timur)
Disampaikan pada acara “Pembabagian Raport” Semester Ganjil pada Jum’at 16 Desember 2016