Kamis, 19 Januari 2017

SALIM HARAMA "MELUKIS DENGAN KAKI"


Pantang menyerah dan terus berusaha, kalimat tersebut dipegang teguh oleh Salim Harama, seorang pelukis dengan menggunakan kaki. Hidup tanpa sepasang tangan, tak membuat Salim Harama menyerah dan putus asa. Justru dari kedua kakinya lahirlah lukisan-lukisan menawan.

Pria kelahiran 27 Juli 1968 ini harus kehilangan sepasang tangannya paska mengalami kecelakaan. Salim kecil yang masih duduk di kelas empat SD kala itu menjadi korban kecelakaan kereta api. Kedua tangannya terpaksa diamputasi karena telatnya penanganan dan kurangnya biaya.

"Saya ingat betul. Dulu sebenarnya tangan kanan saya masih bisa diselamatkan tetapi biayanya mahal. Bapak ketika itu sempat bicara ke saya. Kata bapak, saya masih punya banyak saudara. Untuk menyelamatkan tangan kanan saya, bapak yang waktu itu kerjanya cuma macul (petani) harus menjual sawah dan rumah. Padahal sawah satu-satunya tempatnya mendapatkan penghasilan untuk makan. Akhirnya saya mengalah," kenang Salim saat ditemui merdeka.com, Selasa (17/1).

Sebuah lukisan berjudul "Demokrasi Amplop" sedang dikerjakannya saat merdeka.com bertandang ke rumahnya. Lukisan yang menceritakan tentang kondisi demokrasi Indonesia yang identik dengan jual beli suara.

Kuas dipegangnya menggunakan kaki kanan. Goresan-goresan cat pun disapukan ke kanvas yang di dalamnya terdapat gambar beberapa karakter manusia, tangan, sebuah amplop coklat dan tulisan demokrasi berwarna putih.

Sesekali kaki Salim mencelupkan kuas ke cat acrylic yang sudah disiapkannya. Penuh konsentrasi, Salim mencoba merampungkan lukisan tersebut.

"Dasar lukisan ini saya bikin saat bersama mahasiswa UGM yang demo beberapa waktu lalu. Saya diajak mereka bikin aksi. Saya melukis sambil membacakan puisi karya Rendra. Waktu itu lukisan belum selesai, sekarang mau saya selesaikan," ujar Salim sembari menyelesaikan lukisannya.

Salim pertama kali berhijrah selepas kelas 2 SMA. Salim yang mendapatkan bantuan beasiswa dari salah satu yayasan di Yogyakarta ini akhirnya harus meninggalkan rumahnya di Purwodadi, dan pindah ke Yogyakarta demi meraih cita-cita saat itu yaitu menjadi pemandu wisata.

"Saya ke Yogyakarta terus melanjutkan sekolah kelas 3 di SMA Nusantara yang ada di Sosrowijayan. Itu sekitar tahun 90. Oleh yayasan saya disekolahkan di Yogyakarta karena ketika itu saya ingin jadi tour guide," tutur Salim.

Keinginannya menjadi pemandu wisata mengantarkan Salim ke Selandia Baru pada tahun 1991. Selepas SMA, yayasan yang menaunginya mengirim Salim ke Selandia Baru untuk belajar Bahasa Inggris. Salim pun selama setahun tinggal di sana.


Sepulangnya dari Selandia Baru, Salim diajak bekerja di yayasan tersebut. Salim kala itu menjadi penerjemah dan membantu administrasi.

Berkenalan dengan dunia seni rupa bagi Salim adalah ketidaksengajaannya. Salim yang belum pernah melukis, di tahun 1995 saat sedang menemani pameran kerajinan di yayasannya bekerja, bertemu dengan seorang teman difabel. Oleh temannya itu, Salim disarankan untuk belajar melukis.

"Waktu itu gak kepikiran akan melukis. Saya konsennya ketika itu membantu yayasan saya. Saya tidak ingin mendua dalam bekerja," ucap Salim.

Salim kembali bertemu dengan temannya saat pameran kerajinan di Jakarta tahun 1997. Temannya lagi-lagi menyarankan Salim untuk melukis. Kali ini ajakan dari temannya itu pun ditanggapi oleh Salim. Salim pun mulai meluangkan waktu untuk belajar melukis menggunakan kaki secara otodidak.

"Pertama kali saya masih ingat, saya melukis sebuah pohon Natal. Lukisan itu kemudian saya bawa ke yayasan. Oleh bos saya, lukisan itu kemudian dicetak dan dijadikan kartu ucapan Natal. Semenjak itu saya semakin PD untuk melukis," ungkap Salim.

Salim pun makin tekun belajar melukis. Salim belajar dengan membaca buku dan didampingi oleh beberapa kawannya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

"Saya sadar gak ada bakat melukis. Makanya saya belajar dan berusaha. Pertama diajari saya menggunakan kanvas yang sudah dikotak-kotak dan saya meniru gambar. Kotak-kotaknya buat memermudah belajar saja. Jadi saya belajar keras soalnya kelenturan kaki, membuat garis, membuat sket dan itu memang tidak mudah. Butuh proses," imbuh Salim.

Salim kemudian makin mantap menempuh jalur seni lukis. Salim mencoba peruntungannya dengan bergabung ke Association of Mouth and Foot Painting (AMFPA). Untuk bergabung dengan asosiasi pelukis menggunakan kaki dan tangan yang berpusat di Swiss ini, Salim harus diuji. Salim diminta mengirim porto polio lukisan-lukisannya.

"Saat diseleksi saya lolos. Organisasi ini bagusnya terus membuat kita berkarya dan belajar. Setiap tahun ada penilaiannya. Kalau tidak lolos penilaian ya tidak bisa bergabung lagi. Penilainya dalam tiga tahun kami harus mengirim minimal 15 lukisan. Kalau tidak lolos seleksi ya karyanya dikembalikan. Kalau lolos seleksi nanti karyanya dimasterkan," jelas Salim.

Menurut Salim, di Indonesia hanya ada 8 orang yang tergabung di AMFPA. Salah satunya adalah Salim sendiri.

"Jadi motonya adalah membeli karena kualitas karya lukisannya, bukan membeli karena kasihan," tegas Salim.

Dari hal melukis inilah, Salim Harama mampu membiayai keluarganya. Bahkan saat ini anak pertamanya sedang menjalani skripsi dan anak keduanya masih berada semester empat.

"Anak pertama kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta dan sedang skripsi. Anak kedua kuliah arsitektur di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta. Sekarang sudah semester empat," pungkas Salim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar